Menu berbahan dasar gandum seperti burger dan spageti baru-baru ini menjadi perdebatan hangat di Indonesia. Ahli gizi dr. Tan Shot Yen mengungkapkan pandangannya mengenai isu ini dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI.
Menurutnya, makanan tersebut tidak sesuai dengan kondisi mayoritas masyarakat Indonesia, terutama dalam konteks intoleransi laktosa. Hal ini semakin menarik perhatian, terutama ketika menyangkut kesehatan anak-anak di berbagai daerah.
Dalam diskusi tersebut, dr. Tan menekankan bahwa menu yang dibagikan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) seperti burger dan spageti tidak hanya tidak relevan, tetapi juga berpotensi merugikan kesehatan. Wilayah-wilayah seperti Lhoknga hingga Papua menerima makanan yang tidak sesuai dengan kebudayaan dan kebutuhan gizi lokal.
Perdebatan Penting Mengenai Pemilihan Menu
Isu mengenai pemilihan menu untuk program pemerintah harus melibatkan pemahaman yang mendalam tentang kebiasaan makan masyarakat. Dalam keseharian, banyak anak muda di Indonesia tidak mengenal gandum sebagai bahan makanan pokok, sehingga pembagian menu tersebut kurang tepat.
Dr. Tan menegaskan bahwa tepung terigu, bahan utama dalam burger, tidak tumbuh di Indonesia. Dengan demikian, pengenalan makanan ini kepada anak-anak menjadi suatu tantangan yang tidak kecil.
Respon masyarakat pun beragam, di mana banyak yang mempertanyakan logika di balik pemilihan menu tersebut. Ini menunjukkan bahwa perlu ada upaya yang lebih terarah untuk memahami kebiasaan makan lokal sebelum menentukan menu.
Kualitas Tenaga Ahli Gizi Dalam Program MBG
Tidak hanya menu yang menjadi perbincangan, namun kualitas tenaga ahli gizi yang terlibat dalam program juga disorot. Dr. Tan mengungkapkan keprihatinan bahwa banyak dari mereka yang baru lulus tanpa pengalaman yang memadai.
Hal ini menjadi masalah tersendiri bagi implementasi program yang bertujuan meningkatkan gizi masyarakat. Pemahaman yang lemah mengenai sistem Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) menjadi salah satu kekurangan yang signifikan.
Dr. Tan mengungkapkan bahwa banyak orang di lapangan yang bertanya mengenai ahli gizi, tetapi tidak mendapatkan kepastian tentang kualitas dan pengetahuan mereka. Ini menunjukkan perlunya peningkatan dalam pelatihan dan sertifikasi tenaga ahli gizi.
Relevansi Program Makan Bergizi Gratis
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) harus dievaluasi kembali agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Relevansi menunya sangat penting agar masyarakat dapat merasakan manfaat langsung dari program tersebut.
Dr. Tan mengusulkan agar ada pemilihan bahan makanan yang lebih lokal dan sesuai dengan kebiasaan makan masyarakat. Ini akan meningkatkan penerimaan dari masyarakat dan pada gilirannya mendorong pola makan sehat yang lebih baik.
Waktu untuk fokus pada pendidikan gizi bagi masyarakat juga sangat penting. Masyarakat perlu diberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya gizi yang sesuai dengan budaya dan kebiasaan mereka.