Ribuan petani di Indonesia akan memperingati Hari Tani dengan menggelar aksi demonstrasi. Tuntutan tersebut bertujuan untuk meminta pemerintah menyelesaikan 24 masalah struktural agraria serta melaksanakan sembilan langkah perbaikan pada 24 September mendatang.
Aksi ini direncanakan berlangsung di sejumlah lokasi di seluruh Indonesia. Sekitar 12 ribu petani akan berunjuk rasa di Jakarta, sementara 13 ribu petani lainnya akan menyatakan aspirasi serupa di berbagai daerah.
Menurut Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), aksi ini bertujuan untuk menyampaikan sembilan tuntutan perbaikan terkait masalah agraria yang telah berlangsung selama 65 tahun sejak diundangkannya UUPA 1960. Selain itu, mereka juga ingin menekankan pentingnya agenda reforma agraria yang tak kunjung dilaksanakan oleh berbagai rezim pemerintahan.
Aksi Bermakna yang Melibatkan Berbagai Elemen Masyarakat
Dalam aksi yang berlangsung di Jakarta, para petani akan bergandeng tangan dengan gerakan buruh, mahasiswa, dan masyarakat sipil lainnya. Mereka akan melaksanakan demonstrasi di depan Gedung DPR RI untuk mendesak perbaikan kebijakan agraria.
Tidak hanya di ibu kota, berbagai demonstrasi untuk memperingati Hari Tani Nasional juga akan diselenggarakan di daerah seperti Aceh Utara, Medan, Palembang, dan Tren lainnya. UPT lainnya di Jakarta diharapkan bisa menjadi titik fokus perhatian media dan masyarakat.
Dewi menambahkan bahwa selama sepuluh tahun pemerintah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) telah diakui gagal dalam melaksanakan reforma agraria. Ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia justru semakin parah, di mana banyak petani kehilangan hak atas tanah mereka.
Ketimpangan Penguasaan Tanah Memburuk di Indonesia
Kondisi ini menciptakan masalah yang lebih kompleks, yang dikenal sebagai ketimpangan dalam penguasaan tanah. Menurut Dewi, satu persen elit menguasai 58 persen dari total tanah di negara ini, sedangkan 99 persen sisanya berebut dengan sulit untuk mendapatkan tanah.
Dewi mencatat bahwa selama sepuluh tahun terakhir, konflik agraria yang melibatkan luasan mencapai 7,4 juta hektar semakin meningkat. Hal ini menyebabkan sekitar 1,8 juta keluarga kehilangan rumah serta mata pencaharian mereka.
Dia juga menegaskan bahwa konflik ini tidak semata-mata akibat salah urus pemerintah tetapi juga karena adanya proyek investasi dan bisnis ekstraktif berskala besar yang terus dipaksakan. Situasi ini semakin menciptakan ketegangan dalam masyarakat saat tanah pertanian dialokasikan untuk kepentingan bisnis.
Proyek Investasi yang Mengancam Pertanian Tradisional
Proyek Strategis Nasional (PSN), pengembangan kawasan ekonomi, serta pembentukan bank tanah menjadi beberapa kebijakan yang dinilai merugikan petani. Menurut Dewi, proyek-proyek ini menggusur hak masyarakat atas tanah mereka dan menutup akses ke sumber daya alam yang telah menjadi milik mereka secara turun-temurun.
Pemerintah sebelumnya mengklaim bahwa mereka telah menerapkan berbagai program strategis untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Menteri Pertanian juga menyampaikan bahwa produksi beras diperkirakan mencapai 31 juta ton pada tahun ini.
Namun, banyak petani merasa bahwa peningkatan produksi ini tidak sebanding dengan kesulitan yang mereka hadapi. Meskipun angka-angka yang ditunjukkan dalam statistik terlihat menjanjikan, realitas di lapangan sering kali bertolak belakang dengan harapan tersebut.
Dalam Rapat Kerja di DPD RI, Menteri Pertanian menyebutkan bahwa stok beras akan mencapai 4,2 juta ton pada 2025, yang terbaik sejak kemerdekaan. Namun bagi petani, angka-angka ini tidak berjalan seiring dengan peningkatan kesejahteraan mereka.
Hal ini menimbulkan tanda tanya seputar efektivitas berbagai program dan kebijakan yang dicanangkan pemerintah. Meskipun ada klaim positif dari institusi internasional mengenai peningkatan produksi pangan, diyakini banyak petani yang merasa terpinggirkan oleh kebijakan yang tidak mencakup kepentingan mereka.